Siapa yang Engkau Cintai?


Sebuah pertanyaan yang sangat berharga tentang cinta pernah disampaikan oleh seorang Badwi kepada Nabi Muhammad -ucapkanlah shalawat untuk beliau- : “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang mencintai suatu kaum, namun tidak berjumpa dengan mereka?”
Nabi saw. menjawab, “ٍٍSeseorang akan bersama siapa yang dicintainya, pada Hari Kiamat.”
Sejauh ini, belum banyak buku yang saya baca menerangkan secara gamblang makna kalimat “Seseorang akan bersama siapa yang dicintainya pada Hari Kiamat”. Mungkin bacaan saya memang tidak terlalu banyak. Namun, garis besar penjelasan yang disampaikan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ighotsatul Lahfan min Mashoyidis Syaithon yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Al-Qowam dengan judul Menyelamatkan Hati dari Tipu Daya Setan sedikit membantu pemahaman saya. Beliau mengemukakan bahwa di akhirat kelak, seseorang akan dikumpulkan bersama apa dan siapa yang dicintainya. Jika kecintaan itu dalam keridhaan Allah, maka kebersamaan tersebut dalam kenikmatan dan rahmat dari Allah di Surga. Namun, jika kecintaan tersebut dibangun di atas landasan yang tidak diridhai oleh Allah, maka kebersamaan itu kelak dalam siksa di neraka.
Ibnul Qoyyim rahimahullah mencontohkan. Orang yang sangat mencintai harta. Ia senantiasa terobsesi untuk mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Tenaga, fikiran, dan daya upaya dikerahkannya untuk mengumpulkan harta sehingga banyak kewajibannya kepada Allah dilalaikan. Kadang ia mengumpulkan harta dengan menzalimi orang lain, mengambil harta yang haram, dan melakukan hal-hal yang diharamkan syariat. Ia gunakan harta untuk bermegah-megahan dan untuk menikmati berbagai kesenangan dalam kemaksiatan. Zakat hartanya, yang merupakan hak orang lain dan sekaligus merupakan rukun Islam ketiga, tidak dia tunaikan. Maka, Allah SWT. kelak mengumpulkan orang semacam ini dengan hartanya pada Hari Kiamat. Saat itu, Allah mengubah harta tersebut menjadi seekor ular cobra yang selalu menggigit sambil berkata, “Akulah hartamu, akulah barang-barang simpananmu!”
Tentang Si Badwi, ia menjadi contoh tentang orang yang nasibnya terkatrol karena cinta. Ada jarak yang sangat jauh antara dirinya dengan Rasulullah saw. Rasulullah saw. tinggal di Madinah, sedangkan Si Badwi hidup tidak menetap, berpindah-pindah dari satu padang ke padang yang lain. Ia jarang bertemu dengan beliau. Ilmunya tidak seberapa dibandingkan dengan para sahabat yang saban hari bergaul dengan Nabi. Dalam hal budi pekerti, para sahabat Nabi sempat memarahinya karena berteriak-teriak, “Hei Muhammad!” dan bersikap kurang sopan sesaat sebelum menyampaikan pertanyaan kepada beliau. Begitu pun amal, ibadah, dan ketakwaannya kepada Allah. Tidak bisa dibandingkan dengan sahabat Rasulullah saw., apalagi dengan Rasulullah saw. Namun demikian, ia mencintai Rasullah saw. Sangat mudah untuk memahami jika kedudukan Si Badwi ini di akhirat kelak jauh dari kedudukan Rasululullah saw.. Namun karena cintanya kepada Rasulullah saw., ia kelak dipertemukan dengan orang yang dicintainya, Rasulullah saw.
Seseorang bersama siapa yang dicintainya pada Hari Kiamat. Juga bersama apa pun yang dicintainya. Semua kekasih, kesayangan, dan kesukaannya akan bersamanya, kelak. Namun, apakah kebersamaan tersebut dalam kenikmatan? Mungkin. Tapi, bisa jadi sebaliknya, dalam kesengsaraan. Tergantung siapa dan apa yang dia cintai. Juga bagaimana ia mencintai. Jika yang dicintainya dan cara mencintainya itu diridhai oleh Allah, maka kebersamaannya kelak dalam kenikmatan di surga. Namun, jika yang dicintainya dan cara mencintainya tidak diridhai oleh Allah, maka ia akan disiksa dengan yang dicintainya, di neraka. Allahumma ajirna minan naar.
Maka, perlu sesekali diri ini bertanya, bukan kepada orang lain, tetapi kepada diri sendiri, kepada jiwa yang dibalut oleh kulit dan daging kita sendiri : siapa yang engkau cintai? Apa yang engkau cintai? Apakah yang kau cintai itu dicintai oleh Allah? Apakah engkau mencintainya dengan cara yang diridhai Allah?
Jawaban yang jujur terhadap semua pertanyaan itu, akan bisa menjadi cermin yang membantu kita untuk melihat bagaimana keadaan kita kelak di akhirat. Syukurlah bila jawaban pertanyaan itu seperti yang kita harapkan. Semoga Allah memberi kita keistiqomahan hingga akhir hayat untuk mampu mencintai karena Allah. Andaikata tidak demikian, semoga Dzat yang membolak-balikkan hati memalingkan hati kita kepada kekasih, kecintaan, kesayangan, dan kesukaan yang lain, yang dicintai-Nya. Senyampang ada waktu untuk berbenah diri.
Mencintai Allah, mencintai apa yang dicintai oleh Allah, mencintai siapa yang dicintai oleh Allah, seperti : Rasulullah saw., para sahabatnya, para ulama dan hamba yang shalih sesudah mereka, akan mengantarkan seseorang berkumpul dengan mereka di Hari Kiamat. Dalam kenikmatan dan kasih sayang Allah. Di surga-Nya, insya Allah. Ya Allah, masukkan kami ke surga-Mu. Jauhkan kami dari neraka-Mu. Wallahu a’lam.
(Catatan kecil, setelah mengikuti majelis kajian tentang Riyadhus Shalihin)

Satu tanggapan untuk “Siapa yang Engkau Cintai?”

  1. Aku mencintai apa yang di cintai Allah dan Rosul-Nya, namun keterbatasanku sebagai manusia terkadang ketidakmampuan itu menggoyahkan pendirianku.

Tinggalkan Balasan ke Dunia Muslimah Batalkan balasan